Sokola Rimba, oleh: Butet manurung
Buku ini merupakan catatan harian seorang aktivis Pendidikan sekaligus lingkungan hidup, Butet Manurung, yang dibukukan. Sebuah perjalanan seorang antropolog yang “menghibahkan” hidupnya dengan mendidik anak orang rimba. Berlatar belakang di pedalaman daerah di Indonesia, hutan raya, Manurung menyebutnya sebagai “orang rimba”, inilah hal yang menarik dari buku ini.
Selama ini, rimba atau hutan belantara seringkali menjadi objek dari pembangunan modern. Baik dari kebijakan pemerintah, pengusaha perkebunan, hingga hutan lindung atau hutan konservasi alam sebagai paru-paru dunia—aturan internasional sedikit banyak akan mempengaruhi kehidupan orang rimba. Sehingga, acapkali, penduduk pribumi “terabaikan” kebutuhannnya—tempat tinggal, pangan, hingga akses kehidupan.
Butet Manurung pada awalnya bekerja sebagai fasilitator pendidikan di WARSI, sebuah LSM konservasi di Jambi. Antara tahun 1999 hingga 2003, ia telah mengunjungi berbagai tempat yang kemudian menjadi pijakannya dalam membangun Sokola. Ketika program berakhir, tahun 2003, ia dan beberapa temannya eks-WARSI mendirikan SOKOLA.
Sekolah-sekolah itu terdapat di beberapa daerah, diantaranya adalah Sokola Pesisir di Makassar, Sokola Baca Tulis di Wailago sebuah pulau kecil di NTT, Sokola Ketahanan Hidup di Aceh, Sokola kajang di Bulukumba, Sokola Literasi untuk masayarakat suku Togutil di Halmahera bagian selatan, Maluku Utara. Dan program-program pendidikan lain untuk komunitas di Pulau Komodo dan Sokola literasi di suku Asmat di Agats, Papua.
Sokola adalah nama lain dari sekolah, yang diucapkan oleh orang rimba. Sedangkan Orang rimba sendiri ditujukan kepada orang-orang yang tinggal di pedalaman atau hutan raya, jungle. Sehingga, jadilah buku ini berjudul “Sokola Rimba”.
Sekolah ini sangatlah flesibel. Materinya disesuaikan dengan kebutuhan orang rimba. Mulai dari mengenal huruf-huruf dan angka-angka, baca tulis, hingga hukum-hukum yang berkenaan dengan kehidupan mereka di rimba. Tujuannya, agar orang-orang rimba dapat “menyelamatkan” dan mempertahankan hak-hak mereka yang tergerus arus globalisasi alias modernisasi.
Mereka kemudian beradaptasi dengan “dunia luar” tanpa kehilangan jati diri mereka sebagai “orang dalam”.
Uniknya, buku ini semacam “film” yang Butet Manurung sendiri dan teman-temannya sebagai tokoh di dalamnya bersama orang-orang rimba yang dihadirkan ke hadapan kita. Ia bercerita tentang bagaimana sulitnya medan untuk menuju kesana, beradaptasi dengan lingkungan yang sama sekali baru, hingga survive-nya dari lingkungan dan alam liar. Begitu juga dengan tanggapan dan sikap orang rimba di sana yang menganggap dia sebagai orang asing, disertai dengan gelagat-gelagat “aneh”. Semuanya dirangkum dalam cerita khas ala Manurung.
Buku dan Kopi.

Memang, tidak semua hal dimasukkan di sini. Kebanyakan yang diceritakan di sini adalah perjalanan hidupnya selama di Jambi, sisanya baru dimasukkan latar belakang daerah pedalaman lain. Demikian pula dengan beberapa bagian yang dengan sengaja tidak dimasukkan demi alasan-alasan praktis, seperti yang diakui Manurung pada prolog.
Di sini, ia bercerita sebagai narrator utama-- namanya juga catatan harian—yang sudut pandangnya jelas, Aku. Jadi, Anda jangan heran kalau Anda menemukan ungkapan-ungkapan atau pandangan-pandangan dia yang berbeda dengan Anda. Setidaknya, dia sudah mengajak kita ke rimba melalui inderanya. Susah-senang, pahit dan getirnya kehidupan disana, hingga bagaimana ia bisa menyatu dengan orang rimba dan kehidupannya, semuanya diceritakan.
Saya teringat ketika dia bercerita tentang bagaimana anak-anak rimba menukar kayu bakar dengan sembako kepada penduduk desa. Juga tentang rokok yang dibarter dengan seonggok bahan hutan lain. Alasannya, mereka juga ingin menikmati dan mencicipi sedikit kehidupan orang modern.
Suasana rimba kian terasa dengan diselipkannya sisipan atau kata-kata khas orang rimba. Misalnya, “Akeh sogoon!! Kawan bae delok dedewek!!” (Aku malaaaasss!! Kamu saja cari sendiri!!). Begitu juga dengan pengalaman dan pelajran hidup yang Butet Manurung ambil dari kearifan lokal orang rimba.
Di sela-sela sekolah, acapkali ada orangtua anak-anak itu yang “berpatroli” layaknya pengawas. Apakah anak mereka diajarkan dengan benar atau tidak. Ada juga anak-anak itu sendiri yang bertugas sebagai penjaga sekolah sekaligus pengawas. Semuanya kian unik saja.
“Orang rimba tidak perlu apa-apa dari proyek pemerintah. Mereka hanya perlu diberikan sedikit ruang untuk bergerak dan bertumbuh sebagaimana mestinya. Mereka tidak butuh sabun, handuk atau pakaian, karena alam sudah menyediakannya. Pun, mereka tidak butuh odol dan obat-obatan, karena alam telah mengajarkan kepada mereka cara bertahan. Selama mereka dibiarkan hidup seperti itu. Sesederhana itu”.
Ingin tahu lebih lanjut tentang seru dan derunya hidup di rimba? Tentang bagaimana laki-laki bersikap dan perempuan bergosip? Bacalah buku ini—Sokola Rimba—agar rasa penasaran Anda terobati. Buku yang telah dicetak ulang (2013), dialihbahasakan ke bahasa InggrisJungle School—, difilmkan dan dirilis pada 21 November 2013 lalu, akan membawa Anda ke sana. Inspirasi bisa datang dari mana saja, termasuk dari membaca buku ini.
Akhirnya, selamat membaca (lagi)!. Semoga ada makna dibalik kalimat yang kita baca. :D
Share on Google Plus

About Lintasanpenaku

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :

Post a Comment